PENGANTAR
TATA HUKUM INDONESIA
EKSISTENSI
HUKUM ADAT
Dewasa
ini hukum adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari.
Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda, ‘Adat-recht” yang
pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai
oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada
apa yang sebelumnya disebut dengan Undang-Undang agama, lembaga rakyat,
kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya.
Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum.
Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum.
Setelah Indonesia merdeka,
keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, “mampukah hukum
adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan”. Mengenai hal ini ada pendapat
yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini,
apakah kita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa
kebanggaan terhadap rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan
bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam
pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah
menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum
adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Globalisasi merupakan
zaman dimana semakin kaburnya batas-batas teritorial, ekonomi, politik, budaya
dan hal lainnya antara suatu entitas nasional dalam dunia internasional.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan hukum adat?
2. Bagaimana
Perkembangan hukum adat setelah kemerdekaan?
3. Bagaimana
pengaruh globalisasi terhadap hukum adat?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari hukum adat.
2. Untuk
mengetahui perkembangan hukum adat setelah kemerdekaan.
3. Untuk
mengetahui pengaruh globalisasi terhadap hukum adat
BAB
II
PEMBAHASAAN
1.
Pengertian
Hukum Adat
Istilah Hukum Adat tidak begitu dikenal dalam
pergaulan masyarakat sehari-hari. Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa
Belanda, ‘Adat-recht” yang pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang
kemudian dikutip dan dipakai oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis
yuridis untuk menunjukkan kepada apa yang sebelumnya disebut dengan
Undang-Undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya.
Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan
Tinggi Hukum.
Di dalam perundang-undangan istilah “adat-recht” itu
baru muncul pada tahun 1920 dalam UU mengenai perguruan tinggi di negeri
Belanda. Dikalangan masyarakat atau dalam pergaulan rakyat umum hanya dikenal
istilah “adat” saja.
Kata adat
berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan atau tradisi. Hubungannya
dengan hukum adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat menjadi atau dijadikan
hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Pandangan
beberapa ahli hukum terhadap hukum adat.
Ø Van
Vollenhoven
Menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku
positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan
tidak dikodifikasikan.
Ø Soerjono Soekanto
Berpendapat
bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak
dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum.
Ø
Supomo & hazairin
Mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah
laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan
keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di
masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat
itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran
dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
Ø
Kusumasi Pudjosewojo
Adat
adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang akan
diadatkan. Hukum adat ialah keseluruhan
aturan tingkah laku yang adat dan sekaligus hukum pula. Dengan kata lain hukum
adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis.
Dari
definisi dan uraian tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa yang
dimaksud dengan Hukum Adat adalah adat yang mempunyai nilai dan kekuatan hukum,
yaitu kaidah-kaidah asli sebagai endapan kesusilaan yang hidup yang
berkembang di dalam masyarakat adat atau
kelompok-kelompok rakyat Indonesia dan keberadaannya diakui oleh mereka.
Untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat ,
harus mengerti dasar – dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Alam pikiran tersebut menentukan corak – corak atau sifat- sifat
hukum adat yaitu:
a.
Religius
Magis
b.
Komunal
atau Kebersamaan
c.
Kontan
(tunai)
d.
Konkrit/
visual
Unsur dan wujud hukum adat
Hukum adat pada umumnya belum tertulis .
Hukum adat mempunyai sanksi apabila dilanggar. Hukum adat yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat mempunyai 2 unsur yaitu kenyataan dan psikologis.
Dalam masyarakat hukum adat dibagi dalam 3 wujud:
a.
Hukum
yang tidak tertulis
b.
Hukum
ysng tertulis
c.
Uraian
– uraian hukum secara tertulis yang sudah dibukukan.
Nilai
– Nilai Umum yang terdapat dalam hukum adat ada 4 nilai
a.
Asas
gotong royong.
b.
Asas
fungsi sosial manusia dan milik masyarakat.
c.
Asas
persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d.
Asas
perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Dalam perkembangannya hukum adat dipengaruhi
oleh faktor – faktor penting yang mempengaruhi hukum adat yaitu magis dan
animisme, agama, kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat.
2.
Perkembangan
hukum adat setelah kemerdekaan
Pembentukan hukum
dimulai pada masa kolonial, pada masa ini keinginan untuk menjadikan hukum adat
sebagai konsep hukum nasional sangat kuat. Hal ini disebabkan oleh penderitaan
akibat penjajahan Belanda yang menimbulkan rasa nasionalisme di masyarakat.
Setelah Indonesia
merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, “mampukah
hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan”. Mengenai hal ini ada
pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa
ini, apakah kita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa
kebanggaan terhadap rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan
bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam
pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah
menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum
adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Dalam pandangan hukum
murni memang relevan untuk dijadikan dasar dalam pembentukan bangsa, tetapi
khusus pada penduduk pribumi atau desa. Sedangkan pada masyarakat moderen,
hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar berpijak, sebab hukum adat sulit
untuk bisa menerima kemajuan-kemajuan disamping sulit untuk diterima oleh dunia
internasional, karena hukum yang digunakan oleh dunia internasional adalah
hukum yang berasal dari barat.
Dalam pandangan pukum
modern, untuk pembangunan nasional, memang hukum itu harus berorientasi kepada
kepentingan bangsa, namun hukum yang dicita – citakan itu haruslah setara
dengan hukum bangsa lain. Pengalaman bahwa dalam hubungan hukum dengan dunia
luar, tetap digunakan hukum barat.
A.
Perkembangan
Di Era 1959-1966
Persoalan
yang dihadapi tetap sama yaitu persoalan dalam menentukan hukum apa yang akan
digunakan dalam rangka pembentukan hukum nasional. Ada peristiwa yang relevan
untuk dikaji dalam rangka pembentukan hukum dikade tersebut. Salah satu
peristiwa tersebut adalah pembebasan Irian Barat yang berpengaruh dalam
menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini juga berimbas terhadap hukum, ada rasa
kebencian terhadap sesuatu yang bersumber dari barat termasuk hukumnya,
sehingga issu hukum adat tetap kuat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan
hukum nasional. Keadaan ini ditambah pula dengan pernyataan Sukarno tanggal 5
Juli 1956 yang menyatakan “Revolusi Belum Selesai”.
Pada
awal tahun 1960, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkenaan
dengan hukum adat, yaitu :
v Pemerintah
pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan “Hukum adatlah
yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional”.
v Dikeluarkan
pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan
Pasal 5 yang berbunyi : “ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”
v Kemudian
diaktifkannya kembali LPHN tahun 1961 (LPHN dibentuk tahun 1958).Tugas LPHN
yaitu “Berupaya untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang
bersumber dari hukum adat, namun tetap mengarahkan para upaya pemodernan hukum,
agar dapat diterima oleh dunia internasional”.
Pada
masa orde baru yang menjadi prioritas adalah pembangunan sektor ekonomi. Rule
of law dijalankan namun dengan satu tujuan yaitu untuk peningkatan ekonomi
semata – mata. Prinsip yang berkembang adalah “ekonomi Indonesia tidak akan
bangkit tanpa bantuan asing”. Asing tidak akan mau menanamkan modal di
Indonesia, jika tidak dijamin oleh sektor hukum. Akibatnya hukum harus
benar-benar dijalankan. Sehingga muncul istilah “tool of social enginering”.
Hal
ini tentu berpengaruh pada hukum yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi
tersebut, maka hukum harus sesuai dengan asing, secara otomatis hukum yang
dijadikan sumber adalah hukum barat, namun hukum adat tetap digunakan bersama –
sama dengan hukum barat. Di era itu hukum banyak yang bersumber dari barat yang
masuk ke Indonesia. Misalnya lembaga – lembaga hukum yang bersumber dari
Amerika yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum adat. Peristiwa yang
menonjol pada waktu itu adalah dikeluarkannya Tap MPR No. XX/1966 Tentang
hirarki perundang-undangan dan sumber tertib hukum. Dari produk hukum di atas,
terlihat bahwa peran eksekutif terlihat lebih menonjol dari legislatif.
Kemudian berlanjut pada
era reformasi, di era ini timbul keinginan untuk meninggalkan rasa kejenuhan
yang selama ini telah diciptakan. Khusus dibidang hukum rasa kejenuhan itu
adalah kejenuhan terhadap produk hukum yang sumbernya dari atas (Top Down),
sehingga ada keinginan hukum itu bersumber dari bawah (Bottom Up). Kemudian
adanya keinginan untuk perubahan secara cepat dan dapat diberlakukan seketika,
temasuk dibidang hukum. Akibatnya, hukum yang diciptakan bersifat pragmatis
(hanya untuk kepentingan sesaat) dan bukan dogmatis.
Pada era reformasi ini
telah terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaan dengan hukum
adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28i ayat 3 UUD
1945 amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat.
Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang
memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Lebih lanjut pengaturan
mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu
kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Menurut MK, suatu kesatuan
masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual
existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat
fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang
masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); (ii) adanya
pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda
adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan
masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya
wilayah tertentu.
MK
juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut :
v Keberadaannya
telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan
perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik
undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang
agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
v Substansi
hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan
masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
MK
kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum,
yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemikiran mengenai peranan
hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia
merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam
bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal tahun
1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat
hukum adat sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan
lagi hak-hak masyarakat adat yang sudah terabaikan.
Setelah
kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan
kepribadian bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia
diarahkan ke bentuk hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang
belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek
kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku
dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada
saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS
1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal,
sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif,
aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional)
adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu
dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan
mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian
besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan
agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu
seperti tercantum dalam konstitusi.
B.
Pada
masa Orde Lama
Pemerintah
(Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945. Demokrasi
yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan kepemimpinan yang
otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang konservatif
(ortodok) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena memang pendapat
Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
Penyimpangan-penyimpangan
tersebut adalah :
v Kekuasaan
Presiden dijalankan secara sewenang-wenang; hal ini terjadi karena kekuasaan
MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh
Presiden.
v MPRS
menetapkan Oresiden menjadi Presiden seumur hidup; hal ini tidak sesuai dengan
ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
v Pimpinan
MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri; dengan demikian , MPR dan DPR
berada di bawah Presiden.
v Pimpinan
MA diberi status menteri; ini merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
v Presiden
membuat penetapan yang isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang
harus dibuat bersama DPR); dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya.
v Pembentukan
lembaga negara yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu Front Nasional.
v Presiden
membubarkan DPR; padahal menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membubarkan
DPR.
C.
Orde Baru
Yang membawa semangat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun Soeharto sebagai penguasa Orde
Baru juga cenderung otoriter. Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang
kurang/tidak responsif. Apalagi pada masa ini hukum “hanya” sebagai pendukung
pembangunan ekonomi karena pembangunan dari PELITA I – PELITA VI dititik
beratkan pada sektor ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan perundangan yang
dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak dan beragama.
Penyimpangan-penyimpangan
pemerintah pada masa orde baru adalah :
1. Terjadi
pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara
otoriter
2. Berbagai
lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani
Keinginan
pemerintah (presiden)
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak
demokratis; pemilu hanya menjadi sarana untuk
4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila;
Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan
tindakan-tindakannya.
5.
Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul dan
berpendapat.
6. Pemerintah campur tangan terhadap
kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7. Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak
terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
8. Terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN)
yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat
pada terjadinya krisis multidimensi.
Setelah
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki
era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pembenahan sistem hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah
awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945,
karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan bernegara
di segala bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan
perundangan, baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian
peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.
3. Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum
Adat
Globalisasi merupakan
zaman dimana semakin kaburnya batas-batas teritorial, ekonomi, politik, budaya
dan hal lainnya antara suatu entitas nasional dalam dunia internasional.
Globalisasi biasanya diikuti oleh sebuah modernisasi, modernisasi sebagai
gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner, dari yang awalnya tradisi
menjadi modern. Selain itu modernisasi juga berwatak kompleks, sistematik,
menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui proses
yang bertahap untuk menuju hemogenisasi dan bersifat progresif. Modernisasi ini
membawa perubahan pada nilai dan kesadaran sebagai akibat dari globalisasi
informasi teknologi baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi Hukum
Adat.
Secara umum, hukum adat adalah hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sejak lama yang berdasarkan pada nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat itu. Melihat perkembangan perubahan masyarakat yang
hidup pada zaman globalisasi dan modernitas, bisa disebut juga sebagai
konsekwensi logis dari kemajuan teknologi, informasi dan transportasi,
cenderung meninggalkan sesuatu yang telah menjadi pegangan luhur dalam
budayanya. Nilai-nilai yang dibawa melalui globalisasi dan modernitas diambil
dan digunakan begitu saja tanpa adanya filterisasi, orang akan senang jika
menyelesaikan persoalan di depan pengadilan, walaupun itu mempunyai implikasi
pada banyak waktu yang terbuang dan mahalnya biaya untuk berperkara jika
dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui permusyawaratan ninik-mamak,
di mana hal ini bisa dilakukan secara kekeluargaan dan dengan biaya yang murah.
Pergeseran ini begitu terlihat juga pada sistem kekerabatan
yang mulai luntur, kalau dahulu keluarga merupakan prioritas utama dalam segala
hal, kini sudah bergeser pada semakin mengagungkan materi dan lebih pada
beberapa tahun terakhir ini sering ditemukan keretakan keluarga lebih banyak
disebabkan oleh persoalan harta benda.
Maka dari itu penguasa
negeri ini, khususnya pemerintah daerah, diharapkan untuk dapat memberikan
ruang yang lebih luas kepada masyarakat, dalam
hal ini pemerintah desa, untuk melestarikan serta mempertahankan aset
budaya dan hukum adat yang telah diyakini secara turun temurun selama
beratus-ratus tahun. Hal ini diperlukan agar apa yang menjadi ketakutan kita
atas arus globalisasi tidak diterima secara penuh, melainkan juga bisa
difilterisasi oleh nilai-nilai adat. Tentunya duduk berdampingan dengan damai
dengan hukum yang berlaku secara nasional.
Untuk itu Menurut Prof. Satjipto
Rahardjo ada empat syarat eksistensi hukum adat,
Empat syarat itu adalah :
1.
Sepanjang masih hidup
Hukum adat di beberapa desa di
Kabupaten Merangin masih hidup dan masih berjalan, walaupun sampai saat ini
fungsinya semakin berkurang dan tampak kurang maksimal. Keberadaannya bisa
dibuktikan dengan masih adanya Lembaga Adat Desa dalam struktur Pemerintahan
Desa dan juga masih sering melakukan kaji baco (persidangan) jika ada
sengketa dalam masyarakat.
2.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Perkembangan masyarakat yang positif
tidak berpengaruh besar pada hukum adat, sebagai contoh jika dalam pemerintahan
ada hierarki pemerintahan maka hukum adat mengatakan bahwa bajenjang naik,
butakak tuhun (sama seperti hierarki). Atau dalam seloko adat Jambi
dikatakan bahwa di mano tamilang dicacak di situ tanaman tumboh, di mano
anteng dipatah di situ aek cucoh. Seloko tersebut menjelaskan bahwa
sellu ada penyesuaian pemberlakuan hukum terhadap keadaan mayarakat yang selalu
berubah.
3.
Sesuai dengan prinsip NKRI
Hukum adat yang berlaku di Jambi,
khususnya di Kabupaten Merangin, telah menganut nilai-nilai yang berlaku di
dalam Pancasila yang merupakan falsafah dasar negara Indonesia. Adat basendi
syarak, syarak basendi Kitabullah merupakan bentuk keagamaan dalam adat
Jambi yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Lantak nan Idak Goyah yang
diikuti dengan behuk di imbo disusukan, anak di pangku diletakkan. nan
benah, benah jugo, jangan tibo di mato dipicengkan, tibo di pehut dikempeskan
merupakan manifesto dari bentuk sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Seloko yang
berbunyi kato saiyo dalam Pucuk Undang nan Empat dan diikuti dengan
ungkapan bulat aek dek pembuloh, bulat kato dek mufakat bisa diartikan
bentuk dari sila persatuan dan permusyawaratan dalam adat Jambi. Selanjutnya
sila terakhir dari Pancasila bisa ditemukan ungkapan adat Jambi yang berbunyi ati
tungau samo dikicap, ati gajah samo dicincang.
4.
Diatur dalam Undang-undang.
Semenjak amandemen UUD 1945 dan
mulai berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, celah
untuk memberikan keleluasaan bagi desa untuk menentukan hukumnya sendiri sudah
sangat terbuka, tinggal sekarang ini adalah bagaimana aplikasinya di tingkat
Pemerintahan Daerah itu sendiri, khususnya dalam hal ini Pemerintah Daerah
Kabupaten Merangin.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
Adat adalah adat yang mempunyai nilai dan kekuatan hukum, yaitu kaidah-kaidah
asli sebagai endapan kesusilaan yang hidup yang berkembang di dalam masyarakat
adat atau kelompok-kelompok rakyat Indonesia dan keberadaannya diakui oleh
mereka.
Pada awal kemerdekaan
dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk
mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum,
hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal
192 Konstitusi RIS (pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS
1950 (ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia
menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada cenderung bercorak
responsif dengan ciri partisipatif, aspiratif dan limitatif.
Globalisasi biasanya
diikuti oleh sebuah modernisasi, modernisasi sebagai gerakan sosial
sesungguhnya bersifat revolusioner, dari yang awalnya tradisi menjadi modern.
Selain itu modernisasi juga berwatak kompleks, sistematik, menjadi gerakan
global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui proses yang bertahap untuk
menuju hemogenisasi dan bersifat progresif. Modernisasi ini membawa perubahan
pada nilai dan kesadaran sebagai akibat dari globalisasi informasi teknologi
baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi Hukum Adat.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahardjo Satjipto.2008.Hukum dalam
Jagad Ketertiban.Jakarta:UKI Press.
Hadukusuma Hilman.2003.Pengantar
Ilmu Hukum Adat Indonesia.Bandung:Mandar Maju
Deis Na dalam “Hukum
Adat sebagai Aspek Kebudayaan” http://tata-hkm.blogspot.com/2010/07/hukum-adat-sebagai-segi-aspek.html
diakses pada 24 April 2012.
0 komentar:
Posting Komentar