Hukum adat



PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA
EKSISTENSI HUKUM ADAT




Dewasa ini hukum adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda, ‘Adat-recht” yang pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada apa yang sebelumnya disebut dengan Undang-Undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya.


Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum.
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, “mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan”. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Globalisasi merupakan zaman dimana semakin kaburnya batas-batas teritorial, ekonomi, politik, budaya dan hal lainnya antara suatu entitas nasional dalam dunia internasional.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan hukum adat?
2.      Bagaimana Perkembangan hukum adat setelah kemerdekaan?
3.      Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap hukum adat?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari hukum adat.
2.      Untuk mengetahui perkembangan hukum adat setelah kemerdekaan.
3.      Untuk mengetahui pengaruh globalisasi terhadap hukum adat
BAB II
PEMBAHASAAN


1.      Pengertian Hukum Adat

Istilah Hukum Adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda, ‘Adat-recht” yang pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada apa yang sebelumnya disebut dengan Undang-Undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya. Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum.
Di dalam perundang-undangan istilah “adat-recht” itu baru muncul pada tahun 1920 dalam UU mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Dikalangan masyarakat atau dalam pergaulan rakyat umum hanya dikenal istilah “adat” saja.
 Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan atau tradisi. Hubungannya dengan hukum adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat menjadi atau dijadikan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
            Pandangan beberapa ahli hukum terhadap hukum adat.
Ø  Van Vollenhoven
Menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan.
Ø  Soerjono Soekanto
Berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum.
Ø  Supomo & hazairin
Mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
Ø  Kusumasi Pudjosewojo
Adat adalah tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang akan diadatkan.  Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku yang adat dan sekaligus hukum pula. Dengan kata lain hukum adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis.
Dari definisi dan uraian tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah adat yang mempunyai nilai dan kekuatan hukum, yaitu kaidah-kaidah asli sebagai endapan kesusilaan yang hidup yang
berkembang di dalam masyarakat adat atau kelompok-kelompok rakyat Indonesia dan keberadaannya diakui oleh mereka.
Untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat , harus mengerti dasar – dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Alam pikiran tersebut menentukan corak – corak atau sifat- sifat hukum adat yaitu:
a.       Religius Magis
b.      Komunal atau Kebersamaan
c.       Kontan (tunai)
d.      Konkrit/ visual
Unsur dan wujud hukum adat
Hukum adat pada umumnya belum tertulis . Hukum adat mempunyai sanksi apabila dilanggar. Hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat mempunyai 2 unsur yaitu kenyataan dan psikologis. Dalam masyarakat hukum adat dibagi dalam 3 wujud:
a.       Hukum yang tidak tertulis
b.      Hukum ysng tertulis
c.       Uraian – uraian hukum secara tertulis yang sudah dibukukan.
Nilai – Nilai Umum yang terdapat dalam hukum adat ada 4 nilai
a.       Asas gotong royong.
b.      Asas fungsi sosial manusia dan milik masyarakat.
c.       Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d.      Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Dalam perkembangannya hukum adat dipengaruhi oleh faktor – faktor penting yang mempengaruhi hukum adat yaitu magis dan animisme, agama, kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat.

2.      Perkembangan hukum adat setelah kemerdekaan

Pembentukan hukum dimulai pada masa kolonial, pada masa ini keinginan untuk menjadikan hukum adat sebagai konsep hukum nasional sangat kuat. Hal ini disebabkan oleh penderitaan akibat penjajahan Belanda yang menimbulkan rasa nasionalisme di masyarakat.
Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum adat masih dipertanyakan terutama berkisar, “mampukah hukum adat itu untuk membawa bangsa kearah kemajuan”. Mengenai hal ini ada pendapat yang saling bertentangan. Apakah yang harus kita utamakan untuk bangsa ini, apakah kita mengutamakan kemajuan bidang ekonomi atau mengutamakan rasa kebanggaan terhadap rasa nasionalisame. Jika yang diutamakan adalah pembangunan bidang ekonomi, maka hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Tetapi apabila yang diprioritaskan adalah menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai suatu bangsa yang berdaulat, maka hukum adat itulah yang harus dijadikan sumber hukum nasional.
Dalam pandangan hukum murni memang relevan untuk dijadikan dasar dalam pembentukan bangsa, tetapi khusus pada penduduk pribumi atau desa. Sedangkan pada masyarakat moderen, hukum adat tidak tepat untuk dijadikan dasar berpijak, sebab hukum adat sulit untuk bisa menerima kemajuan-kemajuan disamping sulit untuk diterima oleh dunia internasional, karena hukum yang digunakan oleh dunia internasional adalah hukum yang berasal dari barat.
Dalam pandangan pukum modern, untuk pembangunan nasional, memang hukum itu harus berorientasi kepada kepentingan bangsa, namun hukum yang dicita – citakan itu haruslah setara dengan hukum bangsa lain. Pengalaman bahwa dalam hubungan hukum dengan dunia luar, tetap digunakan hukum barat.
A.    Perkembangan Di Era 1959-1966
Persoalan yang dihadapi tetap sama yaitu persoalan dalam menentukan hukum apa yang akan digunakan dalam rangka pembentukan hukum nasional. Ada peristiwa yang relevan untuk dikaji dalam rangka pembentukan hukum dikade tersebut. Salah satu peristiwa tersebut adalah pembebasan Irian Barat yang berpengaruh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme. Hal ini juga berimbas terhadap hukum, ada rasa kebencian terhadap sesuatu yang bersumber dari barat termasuk hukumnya, sehingga issu hukum adat tetap kuat untuk dijadikan dasar dalam pembentukan hukum nasional. Keadaan ini ditambah pula dengan pernyataan Sukarno tanggal 5 Juli 1956 yang menyatakan “Revolusi Belum Selesai”.
Pada awal tahun 1960, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan hukum adat, yaitu :
v  Pemerintah pada waktu itu mengeluarkan Tap MPR No II/1960 yang menyatakan “Hukum adatlah yang dijadikan landasan atau dasar pembentukan hukum nasional”.
v  Dikeluarkan pula UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok agraria. Perhatikan Pasal 5 yang berbunyi : “ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”
v  Kemudian diaktifkannya kembali LPHN tahun 1961 (LPHN dibentuk tahun 1958).Tugas LPHN yaitu “Berupaya untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang bersumber dari hukum adat, namun tetap mengarahkan para upaya pemodernan hukum, agar dapat diterima oleh dunia internasional”.
Pada masa orde baru yang menjadi prioritas adalah pembangunan sektor ekonomi. Rule of law dijalankan namun dengan satu tujuan yaitu untuk peningkatan ekonomi semata – mata. Prinsip yang berkembang adalah “ekonomi Indonesia tidak akan bangkit tanpa bantuan asing”. Asing tidak akan mau menanamkan modal di Indonesia, jika tidak dijamin oleh sektor hukum. Akibatnya hukum harus benar-benar dijalankan. Sehingga muncul istilah “tool of social enginering”.
Hal ini tentu berpengaruh pada hukum yang ada. Untuk mendukung peningkatan ekonomi tersebut, maka hukum harus sesuai dengan asing, secara otomatis hukum yang dijadikan sumber adalah hukum barat, namun hukum adat tetap digunakan bersama – sama dengan hukum barat. Di era itu hukum banyak yang bersumber dari barat yang masuk ke Indonesia. Misalnya lembaga – lembaga hukum yang bersumber dari Amerika yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum adat. Peristiwa yang menonjol pada waktu itu adalah dikeluarkannya Tap MPR No. XX/1966 Tentang hirarki perundang-undangan dan sumber tertib hukum. Dari produk hukum di atas, terlihat bahwa peran eksekutif terlihat lebih menonjol dari legislatif.
Kemudian berlanjut pada era reformasi, di era ini timbul keinginan untuk meninggalkan rasa kejenuhan yang selama ini telah diciptakan. Khusus dibidang hukum rasa kejenuhan itu adalah kejenuhan terhadap produk hukum yang sumbernya dari atas (Top Down), sehingga ada keinginan hukum itu bersumber dari bawah (Bottom Up). Kemudian adanya keinginan untuk perubahan secara cepat dan dapat diberlakukan seketika, temasuk dibidang hukum. Akibatnya, hukum yang diciptakan bersifat pragmatis (hanya untuk kepentingan sesaat) dan bukan dogmatis.
Pada era reformasi ini telah terjadi empat kali amandemen UUD 1945. Pasal yang berkenaan dengan hukum adat mulai dimasukkan dalam Pasal Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28i ayat 3 UUD 1945 amandemen kedua dan belum mengalami perubahan hingga amandemen keempat. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.
MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut :
v  Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;
v  Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukan hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada saat itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam bentuk peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adat sempat terlupakan, namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi hak-hak masyarakat adat yang sudah terabaikan.
Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif, aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.
B.     Pada masa Orde Lama
Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang konservatif (ortodok) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena memang pendapat Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah :
v  Kekuasaan Presiden dijalankan secara sewenang-wenang; hal ini terjadi karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh Presiden.
v  MPRS menetapkan Oresiden menjadi Presiden seumur hidup; hal ini tidak sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
v  Pimpinan MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri; dengan demikian , MPR dan DPR berada di bawah Presiden.
v  Pimpinan MA diberi status menteri; ini merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
v  Presiden membuat penetapan yang isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR); dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya.
v  Pembentukan lembaga negara yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu Front Nasional.
v  Presiden membubarkan DPR; padahal menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membubarkan DPR.
C.     Orde Baru
Yang membawa semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun Soeharto sebagai penguasa Orde Baru juga cenderung otoriter. Hukum yang lahir kebanyakan hukum yang kurang/tidak responsif. Apalagi pada masa ini hukum “hanya” sebagai pendukung pembangunan ekonomi karena pembangunan dari PELITA I – PELITA VI dititik beratkan pada sektor ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan perundangan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak dan beragama.
Penyimpangan-penyimpangan pemerintah pada masa orde baru adalah :
1.      Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter                                
2.      Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani
Keinginan pemerintah (presiden)
      3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis; pemilu hanya menjadi sarana untuk   
  4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila; Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
      5. Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul dan berpendapat.
     6. Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
    7. Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
   8. Terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multidimensi.
Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenahan sistem hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi acuan dalam kehidupan bernegara di segala bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam pembuatan peraturan perundangan, baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.


3.      Pengaruh Globalisasi terhadap Hukum Adat
Globalisasi merupakan zaman dimana semakin kaburnya batas-batas teritorial, ekonomi, politik, budaya dan hal lainnya antara suatu entitas nasional dalam dunia internasional. Globalisasi biasanya diikuti oleh sebuah modernisasi, modernisasi sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner, dari yang awalnya tradisi menjadi modern. Selain itu modernisasi juga berwatak kompleks, sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui proses yang bertahap untuk menuju hemogenisasi dan bersifat progresif. Modernisasi ini membawa perubahan pada nilai dan kesadaran sebagai akibat dari globalisasi informasi teknologi baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi Hukum Adat.
Secara umum, hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak lama yang berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu. Melihat perkembangan perubahan masyarakat yang hidup pada zaman globalisasi dan modernitas, bisa disebut juga sebagai konsekwensi logis dari kemajuan teknologi, informasi dan transportasi, cenderung meninggalkan sesuatu yang telah menjadi pegangan luhur dalam budayanya. Nilai-nilai yang dibawa melalui globalisasi dan modernitas diambil dan digunakan begitu saja tanpa adanya filterisasi, orang akan senang jika menyelesaikan persoalan di depan pengadilan, walaupun itu mempunyai implikasi pada banyak waktu yang terbuang dan mahalnya biaya untuk berperkara jika dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui permusyawaratan ninik-mamak, di mana hal ini bisa dilakukan secara kekeluargaan dan dengan biaya yang murah.
Pergeseran ini begitu terlihat juga pada sistem kekerabatan yang mulai luntur, kalau dahulu keluarga merupakan prioritas utama dalam segala hal, kini sudah bergeser pada semakin mengagungkan materi dan lebih pada beberapa tahun terakhir ini sering ditemukan keretakan keluarga lebih banyak disebabkan oleh persoalan harta benda.
Maka dari itu  penguasa negeri ini, khususnya pemerintah daerah, diharapkan untuk dapat memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat, dalam  hal ini pemerintah desa, untuk melestarikan serta mempertahankan aset budaya dan hukum adat yang telah diyakini secara turun temurun selama beratus-ratus tahun. Hal ini diperlukan agar apa yang menjadi ketakutan kita atas arus globalisasi tidak diterima secara penuh, melainkan juga bisa difilterisasi oleh nilai-nilai adat. Tentunya duduk berdampingan dengan damai dengan hukum yang berlaku secara nasional.
Untuk itu Menurut Prof. Satjipto Rahardjo ada empat syarat eksistensi hukum adat,  Empat syarat itu adalah :
1.                  Sepanjang masih hidup
Hukum adat di beberapa desa di Kabupaten Merangin masih hidup dan masih berjalan, walaupun sampai saat ini fungsinya semakin berkurang dan tampak kurang maksimal. Keberadaannya bisa dibuktikan dengan masih adanya Lembaga Adat Desa dalam struktur Pemerintahan Desa dan juga masih sering melakukan kaji baco (persidangan) jika ada sengketa dalam masyarakat.
2.                  Sesuai dengan perkembangan masyarakat
Perkembangan masyarakat yang positif tidak berpengaruh besar pada hukum adat, sebagai contoh jika dalam pemerintahan ada hierarki pemerintahan maka hukum adat mengatakan bahwa bajenjang naik, butakak tuhun (sama seperti hierarki). Atau dalam seloko adat Jambi dikatakan bahwa di mano tamilang dicacak di situ tanaman tumboh, di mano anteng dipatah di situ aek cucoh. Seloko tersebut menjelaskan bahwa sellu ada penyesuaian pemberlakuan hukum terhadap keadaan mayarakat yang selalu berubah.
3.                  Sesuai dengan prinsip NKRI
Hukum adat yang berlaku di Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin, telah menganut nilai-nilai yang berlaku di dalam Pancasila yang merupakan falsafah dasar negara Indonesia. Adat basendi syarak, syarak basendi Kitabullah merupakan bentuk keagamaan dalam adat Jambi yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Lantak nan Idak Goyah yang diikuti dengan behuk di imbo disusukan, anak di pangku diletakkan. nan benah, benah jugo, jangan tibo di mato dipicengkan, tibo di pehut dikempeskan merupakan manifesto dari bentuk sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Seloko yang berbunyi kato saiyo dalam Pucuk Undang nan Empat dan diikuti dengan ungkapan bulat aek dek pembuloh, bulat kato dek mufakat bisa diartikan bentuk dari sila persatuan dan permusyawaratan dalam adat Jambi. Selanjutnya sila terakhir dari Pancasila bisa ditemukan ungkapan adat Jambi yang berbunyi ati tungau samo dikicap, ati gajah samo dicincang.
4.                  Diatur dalam Undang-undang.
Semenjak amandemen UUD 1945 dan mulai berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, celah untuk memberikan keleluasaan bagi desa untuk menentukan hukumnya sendiri sudah sangat terbuka, tinggal sekarang ini adalah bagaimana aplikasinya di tingkat Pemerintahan Daerah itu sendiri, khususnya dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin.

BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Hukum Adat adalah adat yang mempunyai nilai dan kekuatan hukum, yaitu kaidah-kaidah asli sebagai endapan kesusilaan yang hidup yang berkembang di dalam masyarakat adat atau kelompok-kelompok rakyat Indonesia dan keberadaannya diakui oleh mereka.
Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif, aspiratif dan limitatif.
Globalisasi biasanya diikuti oleh sebuah modernisasi, modernisasi sebagai gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner, dari yang awalnya tradisi menjadi modern. Selain itu modernisasi juga berwatak kompleks, sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui proses yang bertahap untuk menuju hemogenisasi dan bersifat progresif. Modernisasi ini membawa perubahan pada nilai dan kesadaran sebagai akibat dari globalisasi informasi teknologi baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi Hukum Adat.


DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo Satjipto.2008.Hukum dalam Jagad Ketertiban.Jakarta:UKI Press.
Hadukusuma Hilman.2003.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.Bandung:Mandar Maju
Deis Na dalam “Hukum Adat sebagai Aspek Kebudayaan” http://tata-hkm.blogspot.com/2010/07/hukum-adat-sebagai-segi-aspek.html diakses pada 24 April 2012.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar